Minggu, 01 Juli 2012

Dilema Kebudayaan (Mau Aman atau Berkembang)


1.      
            Sebuah pemikiran yang pantas diajukan adalah tentang perbenturan antara kebudayaan masyarakat tradisional dengan aliran budaya modern yang ditandai dengan diversifikasi nilai yang sangat menonjol untuk diamati. Dilema kebudayaan terjadi ketika masyarakat penganut sebuah budaya tertentu (atau dalam konteks yang lebih luas adalah budaya dari sebuah negara ketika mendapat pengaruh dari budaya negara lain) mulai dihadapkan pada pilihan untuk melakoni tuntutan budaya sendiri serentak mencoba atau bahkan mengikuti gaya budaya lain. Dunia yang makin terbuka oleh karena perkembangan informasi dan teknologi telah menjadi pintu utama terjadinya perbenturan seperti ini.
            Secara sederhana dapat diambil sebuah jalan keluar yang instan, tetap dengan budaya sendiri atau lebih baik mengikuti model budaya baru yang mungkin lebih baik dari budaya yang sedang dihidupi saat ini. Tetapi jika dikaji secara lebih medalam, persoalan tidak sesederhana itu. Alasannya? Sosialitas manusia dengan sistem ikatan dan juga kontrol sosial adalah alat penguji pelaksanaan sebuah kebudayaan. Artinya, penilaian sebuah kebudayaan selalu melibatkan masyarakat secara keseluruhan sehingga hal ini akan bertentangan secara langsung dengan pilihan pribadi setiap orang terhadap tawaran nilai budaya yang ada. Dapat saja terjadi bahwa orang ingin tetap berada di dalam lingkup budayanya sendiri dan secara tegas menolak pengaruh budaya lain.
            Namun bisa juga terjadi bahwa orang merasa perlu menerima model budaya baru yang sementara berkembang sebagai wujud mengikuti perkembangan yang ada saat ini. Percekcokan budaya dapat terjadi pada titik ini. Inilah dilema kebudayaan yang harus ditemukan solusinya melalui sebuah pertimbangan yang seimbang, supaya kearifan budaya sendiri tetap terjaga sambil menerima atau juga (boleh) menolak pengaruh budaya lain.

5 komentar:

  1. Dalam beberapa case tidak selalu bertahan pada budaya sendiri merupakan pilihan yg aman,karena tantangan seringkali menggeser keluar pihak yg hanya bertahan sehingga menjadi tidak aman lagi. Satu usulan yg mungkin bs jadi pertimbangan: "mau aman? berkembang"
    Nah, untuk berkembang dgn hanya mempertimbangkan budaya sendiri maupun mengadopsi sebagian atau seluruh budaya asing: itu suatu pilihan tema lain yg menarik dikaji
    Kita tunggu yaa :)

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  3. Apa dasar perkembangan yang akan dibangun sehingga perkembangan yang diinginkan adalah cerminan sebuah budaya yang membangun peradaban manusia??? Tidak mudah menentukan model budaya yang sebaiknya dipakai,,,,tetapi jiwa budaya asli setiap masyarakat adalah nilai utama yang akan sangat sulit digantikan perannya dalam membangun sebuah peradaban kehidupan. Ungkapan 'kacang lupa kulit' setidaknya adalah nada penyesalan yang lahir dari sebuah kekecewaan terhadap kenyataan krisis kebudayaan yang melanda kelompok manusia, yang (mungkin juga) hanya sekadar berprinsip "mau aman? berkembang" tanpa tahu entitas nilai moral dan juga etika kehidupan yang diusung oelh perkembangan dimaksud. Memprihatinkan; ketika orang mengumandangkan 'hidup di zaman modern' tetapi tidak tahu menempatkan modernitas sebagai nilai yang mendukung keluhuran nilai kehidupan yang bermoral dan bermartabat, sebagaimana sudah diusung oleh budaya-budaya yang ada dalam kehidupan masyarakat tradisional. Kebijaksanaan-kebijaksanaan asali inilah yang sering dilupakan bahkan dianggap tidak berarti sama sekali oleh kelompok yang menamakan diri sebagai 'manusia modern'.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Daniel, it's so true
      Anyway, kadang tidak semua orang memiliki pilihan untuk bebas melestarikan budayanya. Karena pada dasarnya tidak ada manusia itu memiliki ketetapan hitam atau putih, yang abadi hanyalah kepentingan.
      Bagi mereka yg sementara sgt diuntungkan oleh arus modernitas dalam meraih lifetime achievement-nya seringkali idak berpikir lama untuk ikut menikmati arus ini dalam segala bentuk/ caranya. Namun adapula yg merasa terpinggirkan, kalah bersaing, tidak mampu berkompetisi dikarenakan modernitas menjadi pahit memandang modernitas dan beralih mendewakan segala yg tradisionil.
      Walaupun demikian, tentu masih ada pula mereka yg melestarikan nilai2 baik suatu budaya tanpa pamrih, mereka ini yg ingin sekali sy dengar pendapatnya dlm blog ini.
      Bang Daniel masuk kelompok yg mana?

      Hapus
    2. Dear Elisa, pembedaan kelompok manusia di hadapan arus kebudayaan adalah juga kenyataan yang terjadi sekarang. Namun kita harus melepaskan diri dari kedua pembedaan tersebut. Mari kita bergerak kepada sebuah nilai pemahaman yang lebih konstruktif; budaya yang kita miliki sekarang harus menjadikan kita semakin dewasa, semakin terbuka wawasan kemanusiaan kita, semakin mendalam penghayatan kehidupan kita dan juga lebih multidimensional, bahkan ketika berhadapan dengan arus budaya lain yang merembes masuk ke dalam konteks 'lokal' kehidupan kita. Apa yang terjadi dengan hal ini??? Mari temukan maknanya, misalnya dalam bidang ras, kita harus berpandangan luas, tidak hanya berkisar pada batas-batas kesukuan atau kebangsaan saja melainkan semakin global/planeter. Sejalan dengan nilai itu, kita juga diharapkan semakin bergerak luas dari semangat nasionalisme Indonesia ke tingkat yang lebih komprehensif dan universal. Hal ini tidak mengandung pengertian bahwa kita lalu kehilangan nasionalisme atau juga keindonesiaan kita. Sama sekali tidak. Kita, sebagai manusia Indonesia masih tetap menjunjung budaya suku kita masing-masing; kejawaan kita, keminangan, keacehan, kemalukuan, ketimoran atau juga keirianan kita tidak kita kikis habis, tetapi kita dewasakan, kita tingkatkan dalam kerangka pergaulan dengan nilai kemanusiaan yang lebih luas. Inilah manfaat kebudayaan yang diharapkan: mendewasakan dan mengembangkan.
      Dan mudah-mudahan ini berarti lebih bermoral, lebih beretika, lebih jujur dan semakin mendekati status manusia, khususnya manusia Indonesia seutuhnya.

      Hapus