Rabu, 01 Agustus 2012

Bagi Ibrahimovic, sepak bola memang laiknya sebuah agama. Di mana dia punya keyakinan yang diburu. "Sepak bola adalah agama, dan semua orang bebas masuk ke dalamnya. Dan sepak bola adalah agamaku," tegas dia.

Agama sekular telah menegaskan diri di hadapan agama formal.

Jika tidak, maka inilah universalitas agama yang akan menertawakan setiap radikalitas dan eksklusivitas 'agama kita'.
Ibra bukan omong kosong;
Agama itu bukan saja soal keyakinan, tetapi juga kebebasan untuk masuk ke dalamnya.

Senin, 09 Juli 2012

Tuhan dan Realitas

Seorang tokoh astronomi, Johannes Keppler, pernah menulis sebuah kerinduan nuraninya, kepada seorang sahabat: "Aku ingin mampu melihat Tuhan dalam jiwa manusia dengan kebeningan yang sama dengan kebeningan aku melihat alam." Usaha pencarian ilmiah yang mendalam untuk menemukan hakikat alam adalah juga sebuah pengalaman religius bagi manusia yang menggumulinya, entah disadari atau juga tidak. Bahkan ketika penemuan terbesar sekalipun sebagaimana para ilmuwan, tidak membedakannya dari sebuah pengalamn sederhana seperti dialami oleh Immanuel Kant: "Jika aku melihat sebuah sarang burung, aku hanya dapat menjatuhkan diri, berlutut dan memujanya."
Pengalaman akan Allah hanya bisa dibahasakan melalui realitas. Inilah hakikat imanensi Allah; yang dekat bahkan ada di antara manusia. Kesadaran akan Allah sesungguhnya juga adalah kesadaran akan realitas kehidupan ini. Menggauli realitas akan menghantarkan manusia pada titik batas pengakuannya bahwa 'Tuhan ada. Tuhan adalah batas kekaguman sekaligus batas ketakberdayaan manusia.
Siapa menggumuli alam, pada suatu saat akan merasa terdorong untuk menundukkan kepala dan berdoa, apa pun agama yang dipeluknya. Itulah sebabnya mengapa para ilmuwan yang produktif, akan sangat mudah membuka hatinya kepada kesadaran bahwa segala penataan alam itu pasti ada sangkut pautnya dengan yang oleh orang-orang disebut "Tuhan".

Minggu, 01 Juli 2012

Menulis sebagai Lakon Emansipatoris.


1.      
            Kegiatan menulis adalah sebuah tindakan yang mengandung semangat emansipatoris. Dalam menulis, seseorang menampilkan lakon tentang kehidupan dan terlebih perjuangan tentang kehidupan. Tulisan mengabadikan kehidupan dalam rangkaian ingatan dan kenangan manusia. Pada saat yang sama tulisan menghadirkan sebuah ruang permenungan tentan kehidupan yang banyak kali dilalui tanpa direnungkan. Manusia yang hidup hanya untuk menikmati saat ini, tak pernah menyediakan ruang bagi permenungan kehidupan ini.
            Lebih jauh, manusia sendiri sebenarnya adalah makhluk penceritra (homo fabula) yang sadar sepenuhnya tentang keadaannya dan mengisahkan setiap titik kehidupannya yang dialami. Sebagai makhluk penceritra, manusia senantiasa ingin mengisahkan pengalaman dan kesadarannya tentang kehidupan. Dalam mengisahkan inilah, manusia dapat menemukan sebuah kesadaran kembali tentang kehidupan yang telah atau bahkan yang akan dijalaninya kelak. Manusia ingin juga membebaskan dirinya dari kungkungan kisah, dan menjadi tuan atas kisah. Pengisahan kembali kehidupan akan menentukan manusia, bukan sebaga obyek dari sejarah kehidupannya semata melainkan sebagai subyek yang menentukan arah dan nilai kehidupannya. Pengisahan kembali adalah juga sebuah tindakan evaluatif tentang kehidupan dan kisah yang telah digariskan sehingga perjalanan selanjutnya dalam kehidupan adalah kehidupan yang dijalani di atas sebuah landasan yang telah diperbaharui. . Kisah-kisah dari manusia pengisah itu ada untuk mendedahkan tentang manusia. Kisah-kisah itu selalu belum sampai pada tafsir paripurna.

Dilema Kebudayaan (Mau Aman atau Berkembang)


1.      
            Sebuah pemikiran yang pantas diajukan adalah tentang perbenturan antara kebudayaan masyarakat tradisional dengan aliran budaya modern yang ditandai dengan diversifikasi nilai yang sangat menonjol untuk diamati. Dilema kebudayaan terjadi ketika masyarakat penganut sebuah budaya tertentu (atau dalam konteks yang lebih luas adalah budaya dari sebuah negara ketika mendapat pengaruh dari budaya negara lain) mulai dihadapkan pada pilihan untuk melakoni tuntutan budaya sendiri serentak mencoba atau bahkan mengikuti gaya budaya lain. Dunia yang makin terbuka oleh karena perkembangan informasi dan teknologi telah menjadi pintu utama terjadinya perbenturan seperti ini.
            Secara sederhana dapat diambil sebuah jalan keluar yang instan, tetap dengan budaya sendiri atau lebih baik mengikuti model budaya baru yang mungkin lebih baik dari budaya yang sedang dihidupi saat ini. Tetapi jika dikaji secara lebih medalam, persoalan tidak sesederhana itu. Alasannya? Sosialitas manusia dengan sistem ikatan dan juga kontrol sosial adalah alat penguji pelaksanaan sebuah kebudayaan. Artinya, penilaian sebuah kebudayaan selalu melibatkan masyarakat secara keseluruhan sehingga hal ini akan bertentangan secara langsung dengan pilihan pribadi setiap orang terhadap tawaran nilai budaya yang ada. Dapat saja terjadi bahwa orang ingin tetap berada di dalam lingkup budayanya sendiri dan secara tegas menolak pengaruh budaya lain.
            Namun bisa juga terjadi bahwa orang merasa perlu menerima model budaya baru yang sementara berkembang sebagai wujud mengikuti perkembangan yang ada saat ini. Percekcokan budaya dapat terjadi pada titik ini. Inilah dilema kebudayaan yang harus ditemukan solusinya melalui sebuah pertimbangan yang seimbang, supaya kearifan budaya sendiri tetap terjaga sambil menerima atau juga (boleh) menolak pengaruh budaya lain.

Tantangan Kebudayaan.


1.      
            Perkembangan berbagai bidang kehidupan dewasa ini, yang dinamakan zaman modern, telah menjadikan dunia ini begitu kompleks. Kompleksitas ini dapat dijumpai entah dalam pola pikir ataupun kemampuan bertingkah laku (gaya hidup). Hal ini berimplikasi lebih jauh pada adanya kompleksitas nilai hidup. Manusia tidak lagi hanya berpegang pada satu nilai kebenaran yang mutlak. Penyebabnya adalah bahwa kompleksitas nilai telah menyediakan ruang kemungkinan yang sangat luas bagi setiap orang untuk memilih dan juga menentukan apa yang diperlukannya untuk dijalani.
            Kompleksitas semacam ini, menghadirkan dua sisi sekaligus yakni kebebasan bagi manusia dalam menentukan diri serentak sebuah tantangan bagi kemapanan budaya yang adalah sebuah konsep awal kehidupan manusia. Kebebasan manusia adalah konsekuensi dari hakekatnya untuk berkembang dan mewujudkan diri secara lebih baik. Manusia berusaha memahami diri dan kehidupannya sehingga melahirkan berbagai macam nilai-nilai baru dan juga kemungkinan untuk menerima, menghayati dan juga menjalani setiap nilai yang ada secara bebas. Manusia tidak saja mengikuti perkembangan zaman tetapi sekaligus menuntut pemenuhan realisasi dirinya secara tuntas, yakni dalam iklim kebebasan.
            Apabila budaya dihadapkan pada situas semacam ini, sebuah pertanyaan besar pantas diajukan: apakah budaya mampu mempertahankan kekuatan nilainya melalui setiap tindakan manusia yang menggenggam budaya tersebut dalam kehidupannya? Salah satu kemungkinan yang dapat ditebak adalah bahwa budaya dapat mengalami krisis nilai yang besar. Krisis yang dimaksud hanya dapat terjadi ketika kebebasan yang diharapkan manusia untuk mencicipi berbagai kemungkinan nilai yang ada, lantas dijadikan yang utama sampai mengabaikan keutamaan budaya sendiri. Peradaban nilai yang baru justru menyingkirkan kesadaran manusia tentang keutamaan budayanya sendiri. Bahkan setiap kebudayaan daerah sering dianggap tradisional, disubordinasi bahkan ditertawakan oleh budaya dan peradaban modern.

Berakar pada Budaya


1.      
            Identitas utama yang dapat diamati dari kehidupan manusia adalah budaya yang dimiliki dan dihidupi oleh manusia itu sendiri. Budaya menjadi nilai yang dapat diamati oleh karena nilainya yang berbeda dari kebudayaan lain pada umumnya. Tanpa lebih jauh menjurus kepada identitas kepribadian, budaya merupakan sebuah cara berpikir dan juga berperilaku terhadap diri sendiri,orang lain, lingkungan dan juga relasi dengan Ilahi (Tuhan). Budaya dengannya dapat juga diringkaskan sebagai sebuah kekhasan yang menghadirkan sebuah suasana yang berbeda di antara setiap manusia atau sekelompok manusia tertentu.
            Kekhasan semacam ini tidak hadir sebagai sebuah reaksi instrumental terhadap gejala-gejala tertentu saja. Mengapa demikian?? Budaya adalah hasil dari sebuah proses panjang dalam usaha manusia untuk menemukan identitas diri secara bersama dan juga untuk menunjang sebuah keteraturan hidup. Usahanya tidak sekali jadi. Proses evolusi senantiasa terjadi selama pencarian identiitas kebudayaan sekelompok manusia. Budaya lahir dari usaha untuk mempertahankan hidup, dengan rujukan utama terhadap diri sendiri, sesama, lingkungannya dan juga Tuhan-nya.
            Menyikapi proses panjang dan juga hakikat kelahiran sebuah kebudayaan ini, maka nilai setiap kebudayaan adalah otonom di dalam dirinya sendiri. Ia tidak dapat begitu saja dengan mudah dikaitkan atau bahkan dicampuradukkan dengan nilai budaya yang lain. Hal utama yang hendaknya dilakukan adalah mempertahankan keutamaan kebudayaan yang telah dihidupi. Budaya hendaknya senantiasa mempertahankan dinamika evolusi yang telah melahirkannya sambil tetap menjaga hakikat nilai kehidupan yang telah dikandung dalam sebuah kebudayaan. Tanggung jawab keberlangsungan kebudayaan ada di dalam jiwa setiap insan yang hidup di dalam iklim kehidupan tersebut.

Modernisasi dunia


1.      
            Era tahun 2000an ditandai dengan berbagai perkembangan yang sangat pesat dalam berbagai lingkup kehidupan manusia. Perkembangan ini ditandai dengan munculnya hal-hal baru  yang sebelumnya tidak dirasakan oleh manusia atau bahkan perubahan dari keadaan yang sedang dialami oleh manusia sebelumnya. Kehidupan tradisional telah lama digantikan oleh kehidupan modern yang menawarkan berbagai macam nilai. Oleh karenanya, dunia modern adalah sebuah keadaan yang kompleks.
            Kompleksitas keadaan ini dapat disebabkan oleh karena peningkatan intensitas jalur informasi serta ditunjang oleh inovasi dan transformasi sistem teknologi yang telah berkembang bahkan hingga teknologi ‘penciptaan’ manusia yang dikenal dengan sistem kloning.
            Berhadapan dengan kompleksitas keadaan ini, manusia dituntut untuk mampu ‘bermain’ dengan kemampuuan akal dan juga nurani sehingga tidak terjebak dalam ketertinggalan dan serentak untuk tidak menjadi korban dari makin canggihnya aliran informasi dan juga gerakan teknologi zaman modern ini.