Kamis, 21 Juni 2012

Benarkah Perempuan Kita Seperti Ini?

            DALAM bentangan sejarah muncul begitu banyak pandangan pincang tentang perempuan. Beberapa di antaranya kita sebutkan di sini. Menurut Plato, perempuan adalah degradasi pria. Pria yang penakut pada tahap reinkarnasi nanti akan berubah menjadi perempuan.
Filsuf "gila" Friedrich Nietzsche menulis sebuah aforisma yang sangat terkenal. "Perempuan yang mempunyai kecenderungan akademis pasti memiliki sesuatu yang salah dengan seksualitasnya." Menurut Demosthenes, perempuan tak lebih dari pelacur untuk kenikmatan tubuh pria, tak lebih dari selir-selir untuk tidur serumah bersama.
            Budaya Timur kuno pernah melegitimasi pelecehan seksual terhadap perempuan. Ada anggapan bahwa praktek persetubuhan adalah puncak seluruh ibadat. Pada pemujaan Baalistik dalam agama Babilon, praktek seperti ini dilihat sebagai "pelacuran sakral". Dewa Apollo dalam mitologi Yunani juga mengatakan bahwa yang membuat anak bukan perempuan, dia hanya menjaga benih yang ditanam pria dalam rahimnya.
Tertulianus malah tegas-tegas mengatakan, perempuan merupakan gerbang iblis. "Engkaulah gerbang iblis. Oleh karena engkau, pria, gambar Allah, terjerumus dalam dosa," kata Tertulianus. Adolf Hitler mendeterminasikan perempuan dalam caturfungsi: Kueche (dapur), Kinder (anak), Kirche (gereja) dan Kleider (pakaian).
            Sekarang, pandangan-pandangan minor seperti ini nyaris tak terdengar lagi. Tetapi praktek-praktek pelecehan dan bersifat merendahkan kaum perempuan masih terjadi dan terus terjadi. Dalam hampir semua sektor kehidupan, kaum perempuan masih diposisikan pada tempat nomor dua. Di pabrik-pabrik, misalnya, gaji perempuan masih lebih kecil dari pria, meski porsi dan beban kerjanya sama. Di bidang politik, kita juga melihat betapa sulitnya nama perempuan menempati nomor urut satu dalam pemilihan legislatif. Di bidang pemerintahan juga sama. Perempuan yang bisa menduduki eselon II masih sangat terbatas.
Di rumah juga sama. Meski bersuamikan pria yang mengerti dengan pendidikan yang baik, para istri juga masih berkutat seputar sumur dan dapur. Banyak istri yang luang lingkupnya masih di wilayah domestik. Pertanyaan pentingnya, mengapa semua ini masih terus terjadi? Ada pandangan yang mengatakan bahwa semuanya adalah normal, apa adanya. Sudah given, terberi. Sudah seperti itu. Tidak perlu dipersoalkan. Artinya, posisi perempuan yang terendahkan, terkebelakang bukan masalah. Dan, banyak perempuan juga menerima pandangan ini. Benarkah??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar